Indahnya Cinta Rasulullah
Cinta
akan membawa sesuatu menjadi lebih baik, membawa kita untuk berbuat
lebih sempurna. Mengajarkan kepada kita betapa besar kekuatan yang
dihasilkannya. Cinta mengajarkan kepada kita, bagaimana caranya harus
berlaku jujur dan berkorban, berjuang dan menerima, memberi dan
mempertahankan. Sangkuriang yang mengukir tanah menjadi sebuah telaga
dengan perhu yang megah dalam semalam demi Dayang Sumbi terkasih yang
ternyata ibunya sendiri. Tajmahal yang indah di India, disetiap jengkal
marmer bangunannya terpahat nama kekasih buah hati sang raja, juga
terbangun karena cinta. Bisa jadi, semua kisah besar dunia berawal dari
cinta.
Cinta
adalah tangan-tangan yang merajut hamparan permadani kasih sayang.
Cinta adalah hati yang selalu berharap dan mewujudkan dunia dan
kehidupan yang lebih baik. Dan Islam tidak saja mengagungkan cintatapi
memberikan contoh konkrit dalam kehidupan. Lewat kehidupan manusia
mulia, Rasulullah SAW.
Ada
sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat
kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, meski langit telah mulai menguning,
burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu Rasulullah dengan
suara terbata memberikan petuah, “Wahai umatku, kita semua ada dalam
kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah
kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang
siapa mencintai sunnahku, berarti mencintai aku dan kelak orang-orang
yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku.”
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu-persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Utsman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepala dalam-dalam.
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu-persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Utsman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepala dalam-dalam.
Isyarat
itu telah datang, saatnya sudah tiba. “Rsulullah akan meninggalkan kita
semua,” desah hati semua sahabat kala itu. Sigap menagkap Rasulullah
yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang
hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, jika mungkin.
Matahari
kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang didalamnya
sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi
pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.
Tiba-tiba
dari luar pintu terdengar seorang yang yang berseru mengucapkan salam.
“Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya
masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan
badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang
ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, “siapakah itu
wahai anakku?”
“Tak
tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya,” tutur
Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan
yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak dikenang.
“Ketahuilah,
dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan
pertemuan di dunia. Dialah malakul maut,” kata Rasulullah, Fatimah pun
menahan ledaknya tangis.
Malaikat
maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak
ikut datang menyertai. Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya
sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan
penghulu dunia ini.
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?” Tanya Rasulullah dengan suara yang amat lemah.
“Pintu-pintu
langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga
terbuka lebar menanti kedatanganmu.,” kata Jibril. Tapi itu ternyata tak
membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tak senang mendengar kabar ini?” Tanya Jibril lagi.
“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?”
“Jangan
kawatir wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman
kepadaku, 'Kuharamkan surga ini bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad
telah berada didalamnya'”, kata Jibril.
Detik-detik
semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah
ditarik. Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat
lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.” Lirih
Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk
semakin dalam dan Jibril membuang muka.
“Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah kepada malaikat pengantar wahyu itu.
“Siapakah
yang tega, melihat kekasih Allah direngut ajal,” kata Jibril. Sebentar
kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan
lagi. “Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua siksa maut
ini kepadaku, jangan pada umatku.”
Badan
Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera
mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku,
peliharalah shalat dan santuni orang-orang yang lemah diantaramu.”
Di
luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling
berpelukan. Fatimah menutup tangan diwajahnya, dan Ali kembali
mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
“Ummatii,
ummatii, ummatii” dan pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini,
mampukah kita mencinta seperti beliau mencintai kita, berkorban demi
beliau yang senantiasa mendoakan ummatnya. Meneruskan perjuangan beliau
saat orang-orang kafir menghinanya, membuat karikatur Beliau, seperti
yang saat ini terjadi di Eropa atau Amerika.
~Edisi 3 / Maret 2008 ~
0 comments: